Jumat, 24 Desember 2010

TUGAS 8

1. Dalam bisnis internasional di kenal 2 transaksi bisnis internasional yaitu :
    a. Perdagangan Internasional (Internasional trade) adalah perdagangan yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan bersama. Penduduk yang dimaksud dapat berupa antarperorangan (individu dengan individu), antara individu dengan pemerintah suatu negara atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain. Di banyak negara, perdagangan internasional menjadi salah satu faktor utama untuk meningkatkan GDP. Meskipun perdagangan internasional telah terjadi selama ribuan tahun (lihat Jalur Sutra, Amber Road), dampaknya terhadap kepentingan ekonomi, sosial, dan politik baru dirasakan beberapa abad belakangan. Perdagangan internasional pun turut mendorong Industrialisasi, kemajuan transportasi, globalisasi, dan kehadiran perusahaan multinasional.
    b. Pemasaran Internasional (Internasional marketing) adalah Penerapan konsep, prinsip, aktivitas dan proses manajemen pemasaran dalam rangka penyaluran ide, barang atau jasa perusahaan kepada konsumen diberbagai negara.Untuk memasarkan produk di luar negri.

2. Coba jelaskan bagaimana tahap-tahap dalam, memasuki bisnis internasional dimulai dari tahap yang paling sederhana yang tidak mengandung resiko sampai dengan tahap yang paling kompleks dan mengandung resiko bisnis yang sangat besar ? (6)
   1. Ekspor Insidentil  : untuk masuk kedalam dunia bisnis internasional suatu perusahaan pada umumnya dimulai dari keterlibatan yang paling awal yaitu dengan melakukan Ekspor Insidentil.
   2. Ekspor Aktif : Tahap terdahulu dan dapat berkembang terus serta adanya hubungan bisnis yang rutin dan bahkan transaksi yang semakin aktif.
   3. Penjualan Lisensi : Dalam tahap ini Negara pendatang menjual lisensi atau merek dari produknya kepada negara penerima.
   4. Frenchising : Merupakan tahap yang lebih aktif lagi yaitu perusahaan suatu negara menjual tidak hanya lisensi atau merek dagangannya saja akan tetapi lengkap dengan segala atributnya termasuk peralatan, proses produksi, resep-resep campuran proses produksinya, pengendalian mutu, pengawasan mutu, serta bentuk pelayanannya.
   5. Pemasaran di luar negri : Tahap ini memerlukan manajemen intensitas serta keterlibatan yang lebih tinggi karena perusahaan pendatang harus aktif dan mandiri dalam melakukan manajemen pemasaran bagi produknya itu dinegeri asing.
   6. Produksi dan Pemasaran diluar negri : Tahap ini adalah tahap paling intensif untuk melibatkan diri pada bisnis internasional karena kita memproduksi di luar negri dengan modal sendiri lalu memasarkannya di negri itu tersebut.

3. Hambatan apa saja dalam memasuki bisnis internasional ? (5)
    1. Perbedaan Bahasa dan Budaya
    2. Kondisi Politik atau Undang-Undang
    3. Batas Perdangangan dan Tarif Bea masuk
    4. Persaingan Dengan Produk Lokal
    5. Hambatan Operasional



Jumat, 17 Desember 2010

PIANO

Dulu, rumah bercat hijau itu kami tinggali berempat. Aku, nenek, kakek, dan ibu. Kalau kau tanya di mana ayahku? Aku tak punya jawaban. Nenek pun tidak. Hanya ibu yang tahu persis siapa ayah kandungku. Dan aku pun tidak pernah berhasrat menanyakan perihal ayah kepadanya.
Sejak aku lahir, kakeklah figur ayah bagiku. Meski beliau yang tua dan rapuh lebih banyak tergolek di balai-balai daripada membawaku pergi ke taman bermain. Sesekali, beliau duduk di kursi goyang, sambil menyipitkan kedua matanya, berusaha memperhatikanku yang sedang disuapi oleh nenek. Penglihatan kakek memang terganggu. Tak lama sejak didiagnosa dokter menderita diabetes, beliau menderita glaukoma. Malam-malam, jika sedang kambuh, kakek akan terus mengerang dan mengeluhkan matanya yang sakit. Selang beberapa menit kemudian, beliau akan muntah-muntah dan tergolek lemah di balai-balai yang telah dilapisi matras.
Ketika nada erangan kakek mulai meninggi, aku hafal betul, nenek pasti akan memanggil dan memintaku untuk mengambilkan botol obat tetes mata bertuliskan Eserine di lemari tengah. Seusai menyelesaikan tugas kecil itu, aku kembali bergelung di ranjang. Dari balik korden kamar yang usang, aku selalu terharu memandangi nenek yang setia merawat kakek hingga fajar menjelang kemudian.
***
Ibuku, kau tahu? Dia sangat cantik. Suaranya merdu. Rambutnya yang sepunggung, hitam legam bak bulu gagak. Setiap wanita pasti akan iri saat memandang wajahnya yang jelita. Setiap lelaki pasti akan jatuh cinta melihat lekuk tubuhnya yang molek. Namun, menurut pendapatku, ia tak lebih dari seorang wanita tolol. Kecantikan dan suaranya yang mendayu, hanya bisa mengantarkannya menjadi biduanita kelas teri. Bersama grup musik keliling, ia menyanyi dari desa ke desa. Kata nenek, ketika masih belia, banyak pemuda bersahaja datang melamarnya. Namun, ia justru jatuh cinta pada seorang lelaki tak beridentitas. Percintaan ibu dengan lelaki itu pun membuahkanku. Tanpa nama ayah di surat kelahiran, aku pun menghirup udara dunia yang tak seramah rahim ibu.
Ketika aku berumur empat tahun, reputasi ibu sebagai biduan naik daun. Ia tak lagi menyanyi di panggung keliling, melainkan menjadi penyanyi tetap di sebuah bar di Yogyakarta. Awalnya, ibu pulang seminggu sekali, dengan membawa banyak hadiah untukku. Lama-lama ibu pulang sebulan sekali, lalu tiga bulan sekali, dan akhirnya aku tak lagi bisa menghitung berapa lama ibu pergi.
“Aku tidak mau boneka lagi! Aku mau ibu di sini!” aku ingat, usiaku lima tahun saat aku menangis menjerit-jerit, menyaksikan ibu beranjak pergi dari pintu rumah untuk kesekian kali.
“Ibu pergi agar kau bisa sekolah saat kau besar nanti,” bujuknya lembut.
“Aku tidak mau sekolah. Aku hanya mau ibu!” teriakanku makin melengking.
***
“Mbak, belok ke kanan atau ke kiri?” suara sopir taksi membuyarkan lamunanku.
“Ke kiri, Pak! Nanti di sebelah kiri, ada gapura warna hitam, masuk kira-kira dua ratus meter,” jawabku dengan suara berat.
Taksi yang kutumpangi dari Bandara Adisutjipto, Yogyakarta, semakin mendekati rumah nenek yang terlihat mulai lapuk dan mengelupas catnya di mana-mana. Rumah itu kini hanya dihuni oleh nenek seorang. Kakekku sudah meninggal jauh sebelum aku meninggalkan rumah. Beberapa bulan kemudian, ibuku pun meninggal. Saat itu, aku baru menginjak usia dua belas. Sanak saudara berdatangan untuk berbela sungkawa. Termasuk adik nenek yang menikah dengan seorang prajurit Belanda dan tinggal di Groningen, Belanda. Tepat tujuh hari setelah ibu meninggal, aku ikut adik nenek untuk bersekolah dan tinggal di negeri kincir angin itu.
***
Ketika taksi berhenti di depan rumah, nenek sedang sibuk dengan rajutan dan setumpuk benang wol di pangkuannya. Wanita tua itu terkesiap melihatku turun dari taksi. Sontak, ia bangkit dari kursi goyangnya, dan berlari kecil menghampiriku. Ada segunung kerinduan yang terpancar dari kedua bola matanya yang terbingkai kacamata presbiopi.
“Mala! Oh….Mala cucuku!” serunya berbaur dengan suara tangis mengharu biru. “Rasanya lama sekali nenek menunggumu pulang, Mala. Kau sekarang betul-betul sudah dewasa,” lanjut nenek sambil menyeka air matanya.
“Aku merindukan nenek,” balasku sambil memeluk tubuh rentanya.
“Syukurlah, kini kau sudah pulang,” ujarnya sambil mengelus rambutku. Kerinduan kami selama sepuluh tahun pun melebur ke dalam sebuah pelukan hangat tiada tara.
Malam harinya, aku tiduran di pangkuan nenek. Nyaman rasanya. Kuhirup dalam-dalam aroma khas kain jarit yang dipakai oleh nenek. Masih sama seperti dulu.
“Kau tak ingin menjenguk Kus?” pertanyaan nenek membuatku tersentak.
“Om Kus?” tanyaku datar.
“Semestinya kau menjenguknya, Mala. Dulu kau sangat sayang padanya bukan? Datanglah ke pondoknya esok pagi, sebelum ia berobat,”
“Berobat?”
***
Keesokan paginya, aku mengunjungi lelaki yang nenek sebut dengan nama Kus. Sewaktu kecil dulu, aku lebih suka memanggilnya dengan sebutan Om Koko. Jika kebetulan ia menjadi wali yang mengambil raporku di sekolah, dengan bangga aku akan memperkenalkannya kepada teman-temanku sambil menyebutkan nama lengkapnya, yang hanya terdiri dari satu suku kata. Kuswidiatmoko.
Kata para tetangga, Om Koko adalah kekasih ibu. Mereka saling jatuh cinta karena Om Koko selalu mengiringi ibu menyanyi di panggung dengan piano klasiknya. Meski aku menyayangi lelaki bertubuh atletis itu, tapi aku sama sekali tidak berharap kelak ia menjadi ayah tiriku.
Pondok Om Koko sangat teduh. Dikelilingi oleh pagar kayu yang dililit oleh bunga Alamanda. Sayup-sayup kudengar suara tuts piano beradu dengan pedal. Permainan itu amat akrab di telingaku. Meski terlambat mendengarkan untaian nada-nada itu, tetapi aku hafal judulnya di luar kepala. Tristesse, gubahan Frederic Chopin, komposer favorit Om Koko.
***
“Om, bisakah suatu saat nanti aku bermain piano seperti Om?” tanyaku padanya ketika usiaku masih sepuluh tahun. Tubuhku yang mungil tampak tenggelam saat berdiri di samping grand piano akustik berwarna hitam mengkilat milik Om Koko.
“Tentu saja kamu bisa,” jawabnya meyakinkan.
“Mainkan satu lagu untukku, Om! Aku juga ingin memainkannya dalam mimpiku nanti,” ujarku sembari melemparkan novel berjudul ’Buku Catatan Josephine’ yang belum selesai kubaca ke sofa.
“Mmmm…baiklah. Om mainkan sebuah lagu pengantar tidur untukmu,” bisiknya penuh sayang. Aku menyandarkan tubuhku di sofa, bersiap mendengarkan dia memainkan jemarinya di atas tuts gradded hammer yang tebal dan kokoh.
“Apa judulnya?”
“Tristesse,” jawabnya lembut.
“Tristesse?” tanyaku sambil berusaha mengeja.
“Ya, Tristesse. Kata itu berasal dari bahasa Perancis, yang artinya kesedihan. Komposisi ini juga dikenal dengan sebutan Etude Op. 10 No 3,” tutur Om Koko sambil tersenyum. Kedua lesung pipinya terlihat semakin cekung, menghiasi wajah tampannya yang terbungkus oleh jambang samar.
Perlahan, alunan Tristesse mengantarkanku ke dunia bawah sadar. Anehnya, ketika aku terlelap sembari mendengarkan melodi itu dengan cermat, aku memimpikan diriku sendiri memainkannya. Jemari tanganku yang lentik dan lincah menari-nari di atas tuts piano. Sejenak, aku pun melupakan Eserine, nama obat tetes mata kakek yang baru saja kutemukan di novel yang beberapa menit lalu menyita perhatianku.
***
Aku terhenyak. Peristiwa bertahun silam itu melesat cepat menembus memoriku. Kuayunkan satu langkah kaki mendekati pintu bercat cokelat di hadapanku. Aku mengintip dari jendela. Mataku terpaku pada sosok lelaki dengan helai-helai rambut berwarna kelabu.
“Permisi!” seruanku ternyata tak membuat lelaki itu berhenti memainkan Tristesse. Agaknya, ia terlampau menikmati setiap gerakan jarinya yang menekan tuts-tuts berat piano Steinway di hadapannya.
“Permisi!” seruku sekali lagi dengan nada sedikit kutinggikan.
Tampak seorang wanita paruh baya menghampiri pintu sambil mengelap tangannya dengan celemek yang melilit perutnya. Wanita itu membukakan pintu untukku. Sesaat, ia terdiam sambil berusaha mencermati wajahku.
“Kumala…kaukah itu?” seru si wanita seolah tak percaya.
“Iya, ini aku, Mak!” balasku bersemangat.
“Mala, Emak sangat merindukanmu,” ujar wanita bertubuh kurus itu sambil mendekapku erat. “Kau betul-betul sudah dewasa Mala. Dan kau amat mirip dengan Maya, ibumu,” lanjutnya. Aku pun hanya tersenyum tipis mendengar kalimat yang terlontar dari bibirnya.
Dulu, Mak Min atau yang kerap kupanggil Emak itu sering datang untuk mengasuhku, jika kebetulan nenek sedang repot mengurus kakek yang sakit-sakitan.
“Sejak kapan Mak Min bekerja di pondok ini?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.
“Sejak ibumu meninggal dan kamu pergi ke negara kompeni, Emak ikut Den Kus. Apalagi sejak kehilangan Maya, ibumu, pikiran Den Kus jadi agak terganggu. Tubuhnya juga jadi sakit-sakitan. Keluarga Den Kus lalu mengupah Emak untuk mengurusnya karena tak sanggup merawatnya sendiri.”
“Jadi, karena itu Om Koko harus berobat?”
“Iya, setiap sebulan sekali Den Kus menjalani terapi kejiwaan. Selain itu juga harus bolak-balik rumah sakit untuk berobat lambungnya yang terkena infeksi.”
“Infeksi?”
“Kata dokter, lambung Den Kus mengalami infeksi kronis. Kalau penyakit pikirannya sedang kambuh, ia bisa tak makan selama berhari-hari. Jadi lambungnya pun ikut-ikutan rusak,” ujar Mak Min prihatin.
Ketika aku dan Mak Min sedang serius berbincang, tiba-tiba dari balik untaian korden manik-manik muncul seorang lelaki paruh baya berwajah kuyu.
“Mak, siapa yang datang?” seru lelaki itu dengan suara parau.
“Eh, ini Den! Ada tamu ingin menjenguk Aden,” jawab Emak dengan nada serba salah. Mungkin Emak takut membangkitkan kenangan pahit Om Koko akan masa lalunya bersama wanita yang ia cintai, yang tak lain adalah ibuku sendiri.
“Maya?” seru Om Koko ketika melihat bayangan tubuhku mendekatinya.
“Bukan, Om aku Kumala bukan Maya. Om sudah lupa padaku?”
“Maya! Maya, aku sangat merindukanmu,” jawab Om Koko sambil berusaha memeluk tubuhku.
Mendadak aku tak mampu membendung air mata yang terus saja menganaksungai di kedua pipiku. Aku sadar, aku menangis bukan karena sedih mengenang ibuku, melainkan kecewa karena Om Koko terus saja menganggapku sebagai dirinya.
***
Sepuluh tahun yang lalu. Suatu hari, dari balik jendela pondok Om Koko, kulihat ibuku yang cantik jelita duduk di sampingnya menghadap piano. Ibu dengan sepasang tangannya yang berkulit kuning langsat, lengkap dengan sepuluh jemari lentiknya, memainkan tuts-tuts piano. Di banding seminggu sebelumnya, permainan piano ibu kali itu sudah lebih baik. Om Koko bersorak girang sambil mencium kening ibu, ketika ibu berhasil memainkan sebuah lagu dengan kunci accord sederhana.
Aku tidak menyukai pemandangan mesra itu!
Aku benci karena ibu bisa belajar bermain piano bersama Om Koko, sedangkan aku tidak. Kebencian itu semakin tak terkendali tatkala kupandangi kedua lenganku yang hanya sebatas siku orang normal, dengan dua tonjolan daging yang lebih mirip kue kaastengels dibanding ibu jari dan kelingking.
Aku tidak bisa belajar bermain piano, itu salah ibu! Aku bisa berkata begitu karena aku kerap mendengar para tetangga bergunjing. Kata mereka, aku cacat akibat ibu yang pernah berusaha keras menggugurkanku ketika masih dalam kandungan. Tapi, kini aku cukup puas karena takdir berkata lain. Aku tidak mati di tangan ibu, melainkan sebaliknya.
Mungkin hanya nenek satu-satunya yang menyadari, kalau ibu meninggal setelah meminum sirup lemon yang kubawakan untuknya. Sirup lemon yang sudah kucampur dengan banyak-banyak Eserine, sisa obat glaukoma kakek yang tertinggal di lemari. Untuk itulah, nenek mengirimku jauh ke Belanda, agar tak ada yang bisa menyalahkanku atas kematian ibu.
Mungkin aku harus berterima kasih pada Josephine, tokoh gadis berusia dua belas tahun yang ada di novel yang kubaca itu. Atau sebetulnya, ibulah yang menyebabkan kematiannya sendiri, karena dialah yang menghadiahiku novel itu. Jadi, bukan salahku kalau aku meniru cara Josephine yang meracuni kakeknya, Aristide Leonides, dengan obat tetes mata yang namanya sama dengan obat kakek.
Sayang sekali, ibu memang tak pernah menyadari telah melahirkan anak cacat yang kelewat cerdas, sehingga aku pun berhasil meracuninya dengan obat tetes mata itu. Dan dengan begitu, aku bisa memiliki Om Koko untuk selamanya, tanpa ada ibu sebagai pengganggu.

http://cerpenkompas.wordpress.com/2010/12/05/piano/

IKAN TERBANG KUFAH

Kufah tidak percaya pada akhirnya orang-orang kota benar-benar akan menghancurkan makam Syeh Muso yang menjulur di ujung tanjung yang dikepung oleh hutan bakau dan cericit ribuan bangau. Mereka akan membangun resor di kampung penuh ikan terbang itu.
Kufah keberatan bukan karena nisan Syeh Muso sering menguarkan cahaya hijau yang menyilaukan mata, tetapi jika sewaktu-waktu tanjung itu turut dilenyapkan, ia tidak akan bisa berlama-lama memandang bulan sambil mengecipakkan kaki di kebeningan air laut yang jika pasang tiba, kerap mengempaskan segala benda tak terduga.
Kadang-kadang, kau tahu, saat bermain bersama perempuan-perempuan kencur lain, Kufah melihat perahu-perahu kecil merapat dan memuntahkan beberapa laki-laki—yang mereka sangka malaikat bersayap merah—berkerumun di makam Syeh Muso. Para lelaki itu mendesiskan suara-suara serupa cericit kelelawar, serupa doa-doa yang senantiasa dipanjatkan oleh Kiai Siti—ayah Kufah—saat amuk laut menjilat-jilat beranda rumah, pohon-pohon bakau tenggelam, dan kegelapan menyuruk-nyuruk ke masjid kuno yang fondasinya telah terkubur oleh air asin.
Juga bersama Zaenab—perempuan penunggu makam, tiga puluh tahunan, yang seluruh tubuhnya bersisik dan hendak mengelupas itu—pada suatu malam dia merasa bertemu dengan sepasang malaikat berlampion putih agak redup yang tersesat di makam.
”Mengapa mereka ke sini?” tanya Kufah.
”Karena mereka menziarahi makam Syeh Muso, Kufah. Kau tahu, menziarahi makam Sang Junjungan sama dengan menziarahi raudah di Negeri Penuh Kemuliaan.”
Kufah tak paham desisan Zaenab. Meskipun demikian, ia tetap memandang segala peristiwa yang terjadi di makam tanpa berkedip sesaat pun. Ia takjub ketika di kedua bahu laki-laki dan perempuan dengan wajah bercahaya yang selalu bergandeng tangan itu, tampak tato sayap dengan warna pelangi yang menyilaukan. Yang lebih mengejutkan mereka menundukkan kepala kepada Zaenab, perempuan yang justru diusir dari kampung hanya karena seluruh tubuhnya bersisik, suka bicara sendiri, dan lidahnya bercabang.
Beberapa kali Kufah juga melihat sebuah perahu merapat dan pria tinggi bersorban berjalan-jalan tergesa-gesa ke masjid. Pada saat-saat seperti itu, Kiai Siti bersama lima lelaki dewasa penghuni daratan yang tenggelam akibat abrasi tersebut akan mendengarkan apa pun yang diucapkan oleh makhluk bermata merah menyala yang senantiasa menuding-nuding dan mengacungkan jari ke langit itu.
Kufah suka sekali mengintip dan mendengarkan secara serampangan khotbah tamu berjenggot yang lebih dikenal sebagai Panglima Langit Abu Jenar tersebut. Hanya, karena dalam bayangan Kufah, Abu Jenar tampak sebagai raksasa yang bengis dan rakus serta bersiap melahap apa pun, ia selalu meninggalkan rumah ketika Kiai Siti dan hantu bermulut penuh lendir itu bercakap tentang perjuangan akbar dan hutan bakau yang bakal digusur. Ia juga tidak suka pada Abu Jenar karena sang Panglima Langit selalu memandang dengan mata nakal setiap bersitatap dengan dirinya. Ia makin benci ketika mendengar gunjingan Abu Jenar hendak menjadikan dia sebagai istri keempat.
Akan tetapi, entah karena apa malam ini Kufah ingin mendengarkan apa pun yang diucapkan oleh Abu Jenar. Tak mudah mencuri dengar dari jarak yang agak jauh. Nyaris tidak ada kata-kata penting yang menyusup ke telinga. Kufah hanya seperti mendengar dengung lebah, kemudian berganti dengan cericit bangau, debur ombak, dan sesekali petir ketika Abu Jenar mengacung-acungkan tangan. Kufah pun kemudian berjingkat-jingkat lebih mendekat.
Kini suara-suara yang semula terasa aneh di telinga mulai bisa didengar. Hanya didengar… belum bisa dimaknai oleh Kufah yang masih sebelas tahunan.
”Tidak ada cara lain… kita ledakkan sendiri saja makam Syeh Muso ketimbang dihancurkan oleh mereka…,” kata Abu Jenar berapi-api.
Wajah Kiai Siti menegang. Meskipun demikian, Kufah tidak tahu mengapa ayahnya tidak berani menolak ajakan untuk menggusur makan kakek buyutnya itu.
”Jika perlu masjid dan kampung ini kita bakar. Jika mereka menghalang-halangi, kita harus bersiap mati!”
Seperti pada hari-hari sebelumnya, tidak ada yang berani melawan Abu Jenar. Karena itu, dalam benak Kufah yang belum bisa menggapai nalar, itu berarti perintah Abu Jenar akan dituruti. Makam Syeh Muso akan diledakkan. Api akan melahap kampung dan penduduk hangus percuma.
”Dan aku kira, malam ini adalah saat paling tepat untuk meledakkan makam itu. Bersiaplah kalian melaksanakan perjuangan besar ini!” cerocos Abu Jenar lagi, menjijikkan.
Sambil membayangkan api yang bakal melahap makam, Kufah teringat pada ikan-ikan yang berkecipakan di sekitar makam. Dia tak ingin melihat ikan-ikannya kepanasan.
Karena itulah dengan berjingkat-jingkat ia mencari juru selamat ikan. Dia mencari Zaenab. Zaenab pasti tak akan memperbolehkan makam Syeh Muso dibakar, diledakkan, atau dihancurkan oleh siapa pun. Dan kalau makam terselematkan, terselamatkan pula ikan-ikan kesayangan.
***
Laut pasang saat itu. Beranda tenggelam. Karena itu, tidak ada cara lain, Kufah harus menggunakan sampan kecil untuk sampai ke makam Syeh Muso yang sepanjang waktu tidak pernah terkubur amuk laut itu. Dan benar, Zaenab berada di keheningan makam. Perempuan itu sedang tafakur di makam sambil bertasbih. Kufah seperti melihat malaikat yang diasingkan dari surga tengah menangis sesenggukan. Ia melihat di kedua bahu perempuan yang tersingkir dari kampung itu, sayap hijau berkilauan menguncup dan mengembang seirama zikir seirama napas Kiai Siti seusai sembahyang.
Hmm, inilah sang pelindung makam, inilah yang akan melindungi ikanku, inilah yang akan melindungi tempat bermainku bersama teman-teman, pikir Kufah.
Tak lama kemudian Kufah menepi. Dengan tergopoh-gopoh ia menuju ke cungkup dan segera tafakur di hadapan makam Syeh Muso. Ia ingin memohon pada Allah lebih dulu agar makam keramat ini tidak diledakkan oleh Panglima Langit dan penduduk kampung. Ia ingin mengatakan kepada Zaenab agar segera meninggalkan makam dan mengungsi ke kampung sebelah.
”Ada apa kau ke sini malam-malam, Kufah?” Zaenab mendesis dan menggerak-gerakkan lidahnya yang bercabang.
”Panglima Langit akan meledakkan makam…. Aku mau menyelamatkan ikanku. Aku ingin ia tetap beterbangan di seputar makam. Sebenarnya aku ingin ikan itu mengaji pada Syeh Muso, tetapi Syeh Muso akan dibakar,” Kufah mendengus pelan, ”Tinggalkan tempat ini…”
Di luar dugaan Kufah, wajah Zaenab tak berubah sama sekali. Ia tetap tafakur dan merasa tak bakal terjadi apa-apa.
”Siapa pun tak akan berani meledakkan makam turunan raja, Kufah. Kau tahu, sekalipun orang luar menganggap Syeh Muso sebagai komunis yang menyamar jadi kiai terkemuka, ia tetap saja putra Raja Pemangku Bumi Ketiga yang memiliki istri dari keturunan Raden Fatah,” Zaenab mulai berkisah tanpa berpikir apakah Kufah tahu segala yang ia ceritakan.
Kufah memang tak tahu siapa Raja Pemangku Bumi Ketiga dan Raden Fatah. Ia hanya tahu jika makam diledakkan atau dibakar, kisah-kisah menakjubkan tentang Syeh Muso yang membangun kampung dalam semalam juga akan hilang. Dan yang lebih penting, ia tak ingin ikan piaraannya kepanasan dan Zaenab hangus terbakar.
”Kita hanya butuh hujan. Kita harus memohon Allah agar memberikan sihir hujan!” Zaenab mendesis lagi.
”Hujan? Untuk apa?” tanya Kufah tak mengerti maksud Zaenab.
”Bukankah hanya hujan yang bisa menghapus api?” Zaenab memberi jawaban, ”Tetapi tak mungkin akan muncul hujan pada saat bulan purnama, Kufah.”
”Aku bisa memanggil hujan!” teriak Kufah sambil membentangkan tangan seperti orang tersalib.
Lalu Kufah berjingkat-jingkat ke pusat tanjung. Ia bersujud menirukan Kiai Siti saat memohon hujan. Tetapi tidak setiap keajaiban datang sesuai keinginan Kufah. Hujan tak segera turun. Hujan tak segera datang.
***
Tanpa sepengetahuan Kufah, Kiai Siti bertanya kepada Abu Jenar mengapa Panglima Langit ngotot meledakkan sendiri makam Syeh Muso. Rupa-rupanya Kiai Siti mulai mengendus bau busuk pengkhianatan. Ia khawatir jangan-jangan Abu Jenar justru merupakan suruhan orang kota yang dikendalikan untuk segera menghancurkan kampung.
”Kalau mereka yang meledakkan, kita menjadi manusia-manusia yang kalah,” kata Abu Jenar, ”Sudahlah… aku sudah meletakkan bom di makam. Kita tinggal meledakkan dari sini, maka perjuangan akbar kita selesai.”
”Jangan! Jangan Tuan ledakkan dulu makam keramat itu. Izinkan aku menyelamatkan buku-buku penting di sana. Ketahuilah semua riwayat kampung dan silsilah keturunan Syeh Muso kami simpan di cungkup itu. Jika makam itu Tuan ledakkan sekarang, kami tak akan punya kenangan apa pun,” Kiai Siti mencoba mengulur waktu.
Apakah ia benar-benar ingin menyelamatkan buku? Entahlah yang jelas kini pandangan matanya menjelah ke berbagai sudut. Ia mencari istrinya. Ada. Ia mencari Kufah. Tak ada.
”Kufah pasti sedang berada di makam itu,” pikir Kiai Siti.
Karena itu tanpa memedulikan siapa pun, Kiai Siti meninggalkan masjid. Ia terjun ke laut. Ia berenang menuju ke tanjung, ke makam Syeh Muso. Ia tak ingin melihat tubuh Kufah terbakar atau tercerai-berai akibat ledakan bom Abu Jenar.
Tetapi terlambat. Di luar dugaan Abu Jenar dan penduduk lain, ternyata Kufah menemukan bom yang disembunyikan di sebalik nisan di bagian yang tidak diketahui oleh Zaenab.
”Mainan siapa ini?” tanya Kufah sambil menimang-nimang bom.
”Mainan? Itu bukan mainan, Kufah. Itu…,” Zaenab curiga pada benda yang juga tidak pernah ia lihat sepanjang hidup itu.
”Itu… apa?”
”Buanglah! Lemparkan ke laut!”
Tak ada jawaban. Lalu terdengar ledakan. Lalu terdengar sorak-sorai. Lalu tubuh Kufah menyala, memburaikan api yang menyerupai kibasan sayap-sayap malaikat menjilat-jilat apa pun yang diam dan berkelebat di makam.
Kini kau tak tahu di mana tubuh Kufah, Kiai Siti, dan Zaenab, dan ikan-ikan terbang itu menghilang bukan?

http://cerpenkompas.wordpress.com/2010/11/07/ikan-terbang-kufah/

BANUN

Bila ada yang bertanya, siapa makhluk paling kikir di kampung itu, tidak akan ada yang menyanggah bahwa perempuan ringkih yang punggungnya telah melengkung serupa sabut kelapa itulah jawabannya. Semula ia hanya dipanggil Banun. Namun, lantaran sifat kikirnya dari tahun ke tahun semakin mengakar, pada sebuah pergunjingan yang penuh dengan kedengkian, seseorang menambahkan kata ”kikir” di belakang nama ringkas itu, hingga ia ternobat sebagai Banun Kikir. Konon, hingga riwayat ini disiarkan, belum ada yang sanggup menumbangkan rekor kekikiran Banun.
Ada banyak Banun di perkampungan lereng bukit yang sejak dulu tanahnya subur hingga tersohor sebagai daerah penghasil padi kwalitet nomor satu itu. Pertama, Banun dukun patah-tulang yang dangau usangnya kerap didatangi laki-laki pekerja keras bila pinggang atau pangkal lengannya terkilir akibat terlampau bergairah mengayun cangkul. Disebut-sebut, kemampuan turun-temurun Banun ini tak hanya ampuh mengobati patah-tulang orang-orang tani, tapi juga bisa mempertautkan kembali lutut kuda yang retak, akibat bendi yang dihelanya terguling lantaran sarat muatan. Kedua, Banun dukun beranak yang kehandalannya lebih dipercayai ketimbang bidan desa yang belum apa-apa sudah angkat tangan, lalu menyarankan pasien buntingnya bersalin di rumah sakit kabupaten. Sedemikian mumpuninya kemampuan Banun kedua ini, bidan desa merasa lebih banyak menimba pengalaman dari dukun itu ketimbang dari buku-buku semasa di akademi. Ketiga, Banun tukang lemang yang hanya akan tampak sibuk pada hari Selasa dan Sabtu, hari berburu yang nyaris tak sekali pun dilewatkan oleh para penggila buru babi dari berbagai pelosok. Di hutan mana para pemburu melepas anjing, di sana pasti tegak lapak lemang-tapai milik Banun. Berburu seolah tidak afdol tanpa lemang-tapai bikinan Banun, yang hingga kini belum terungkap rahasianya.
Tapi, hanya ada satu Banun Kikir yang karena riwayat kekikirannya begitu menakjubkan, tanpa mengurangi rasa hormat pada Banun-banun yang lain, sepatutnyalah ia menjadi lakon dalam cerita ini.
***
Di sepanjang usianya, Banun Kikir tak pernah membeli minyak tanah untuk mengasapi dapur keluarganya. Perempuan itu menanak nasi dengan cara menyorongkan seikat daun kelapa kering ke dalam tungku, dan setelah api menyala, lekas disorongkannya pula beberapa keping kayu bakar yang selalu tersedia di bawah lumbungnya. Saban petang, selepas bergelimang lumpur sawah, daun-daun kelapa kering itu dipikulnya dari kebun yang sejak lama telah digarapnya. Mungkin sudah tak terhitung berapa jumlah simpanan Banun selama ia menahan diri untuk tidak membeli minyak tanah guna menyalakan tungku. Sebab, daun-daun kelapa kering di kebunnya tiada bakal pernah berhenti berjatuhan.
”Hasil sawah yang tak seberapa itu hendak dibawa mati, Mak?” tanya Rimah suatu ketika. Kuping anak gadis Banun itu panas karena gunjing perihal Banun Kikir tiada kunjung reda.
”Mak tak hanya kikir pada orang lain, tapi juga kikir pada perut sendiri,” gerutu Nami, anak kedua Banun.
”Tak usah hiraukan gunjingan orang! Kalau benar apa yang mereka tuduhkan, kalian tak bakal mengenyam bangku sekolah, dan seumur-umur akan jadi orang tani,” bentak Banun.
”Sebagai anak yang lahir dari rahim orang tani, semestinya kalian paham bagaimana tabiat petani sejati.”
Sejak itulah Banun menyingkapkan rahasia hidupnya pada anak-anaknya, termasuk pada Rimah, anak bungsunya itu. Ia menjelaskan kata ”tani” sebagai penyempitan dari ”tahani”, yang bila diterjemahkan ke dalam bahasa orang kini berarti: ”menahan diri”. Menahan diri untuk tidak membeli segala sesuatu yang dapat diperoleh dengan cara bercocok tanam. Sebutlah misalnya, sayur-mayur, cabai, bawang, seledri, kunyit, lengkuas, jahe. Di sepanjang riwayatnya dalam menyelenggarakan hidup, orang tani hanya akan membeli garam. Minyak goreng sekalipun, sedapat-dapatnya dibikin sendiri. Begitu ajaran mendiang suami Banun, yang meninggalkan perempuan itu ketika anak-anaknya belum bisa mengelap ingus sendiri. Semakin banyak yang dapat ”ditahani” Banun, semakin kokoh ia berdiri sebagai orang tani.
Maka, selepas kesibukannya menanam, menyiangi, dan menuai padi di sawah milik sendiri, dengan segenap tenaga yang tersisa, Banun menghijaukan pekarangan dengan bermacam-ragam sayuran, cabai, seledri, bawang, lengkuas, jahe, kunyit, gardamunggu, jeruk nipis, hingga semua kebutuhannya untuk memasak tersedia hanya beberapa jengkal dari sudut dapurnya. Bila semua kebutuhan memasak harus dibeli Banun dengan penghasilannya sebagai petani padi, tentu akan jauh dari memadai. Bagi Banun, segala sesuatu yang dapat tumbuh di atas tanahnya, lagi pula apa yang tak bisa tumbuh di tanah kampung itu akan ditanamnya, agar ia selalu terhindar dari keharusan membeli. Dengan begitu, penghasilan dari panen padi, kelak bakal terkumpul, guna membeli lahan sawah yang lebih luas lagi. Dan, setelah bertahun-tahun menjadi orang tani, tengoklah keluarga Banun kini. Hampir separuh dari lahan sawah yang terbentang di wilayah kampung tempat ia lahir dan dibesarkan, telah jatuh ke tangannya. Orang-orang menyebutnya tuan tanah, yang seolah tidak pernah kehabisan uang guna meladeni mereka yang terdesak keperluan biaya sekolah anak-anak. Tak jarang pula untuk biaya keberangkatan anak-anak gadis mereka ke luar negeri, untuk menjadi TKW, lalu menggadai, bahkan menjual lahan sawah. Empat orang anak Banun telah disarjanakan dengan kucuran peluhnya selama menjadi orang tani.
***
Sesungguhnya Banun tidak lupa pada orang yang pertama kali menjulukinya Banun Kikir hingga nama buruk itu melekat sampai umurnya hampir berkepala tujuh. Orang itu tidak lain adalah Palar, laki-laki ahli waris tunggal kekayaan ibu-bapaknya. Namun, karena tak terbiasa berkubang lumpur sawah, Palar tak pernah sanggup menjalankan lelaku orang tani. Untuk sekebat sayur Kangkung pun, Zubaidah (istri Palar), harus berbelanja ke pasar. Pekarangan rumahnya gersang. Kolamnya kering. Bahkan sebatang pohon Singkong pun menjadi tumbuhan langka. Selama masih tersedia di pasar, kenapa harus ditanam? Begitu kira-kira prinsip hidup Palar. Baginya, bercocok tanam aneka tumbuhan untuk kebutuhan makan sehari-hari, hanya akan membuat pekerjaan di sawah jadi terbengkalai. Lagi pula, bukankah ada tauke yang selalu berkenan memberi pinjaman, selama orang tani masih mau menyemai benih? Namun, tauke-tauke yang selalu bermurah-hati itu, bahkan sebelum sawah digarap, akan mematok harga jual padi seenak perutnya, dan para petani tidak berkutik dibuatnya. Perangai lintah darat itu sudah merajalela, bahkan sejak Banun belum mahir menyemai benih. Palar salah satu korbannya. Dua pertiga lahan sawah yang diwarisinya telah berpindah tangan pada seorang tauke, lantaran dari musim ke musim hasil panennya merosot. Palar juga terpaksa melego beberapa petak sawah guna membiayai kuliah Rustam, anak laki-laki satu-satunya, yang kelak bakal menyandang gelar insinyur pertanian. Dalam belitan hutang yang entah kapan bakal terlunasi, Palar mendatangi rumah Banun, hendak meminang Rimah untuk Rustam.
”Karena kita sama-sama orang tani, bagaimana kalau Rimah kita nikahkan dengan Rustam?” bujuk Palar masa itu.
”Pinanganmu terlambat. Rimah sudah punya calon suami,” balas Banun dengan sorot mata sinis.
”Keluargamu beruntung bila menerima Rustam. Ia akan menjadi satu-satunya insinyur pertanian di kampung ini, dan hendak menerapkan cara bertani zaman kini, hingga orang-orang tani tidak lagi terpuruk dalam kesusahan,” ungkap Palar sebelum meninggalkan rumah Banun.
”Maafkan saya, Palar.”
Rupanya penolakan Banun telah menyinggung perasaan Palar. Lelaki itu merasa terhina. Mentang-mentang sudah kaya, Banun mentah-mentah menolak pinangannya. Dan, yang lebih menyakitkan, ini bukan penolakan yang pertama. Tiga bulan setelah suami Banun meninggal, Palar menyampaikan niatnya hendak mempersunting janda kembang itu. Tapi, Banun bertekad akan membesarkan anak-anaknya tanpa suami baru. Itu sebabnya Palar menggunakan segala siasat dan muslihat agar Banun termaklumatkan sebagai perempuan paling kikir di kampung itu. Palar hendak membuat Banun menanggung malu, bila perlu sampai ajal datang menjemputnya.
***
Meski kini sudah zaman gas elpiji, Banun masih mengasapi dapur dengan daun kelapa kering dan kayu bakar, hingga ia masih menyandang julukan si Banun Kikir. ”Nasi tak terasa sebagai nasi bila dimasak dengan elpiji,” kilah Banun saat menolak tawaran Rimah yang hendak membelikannya kompor gas. Rimah sudah hidup berkecukupan bersama suaminya yang bekerja sebagai guru di ibu kota kabupaten. Begitu pula dengan Nami dan dua anak Banun yang lain. Sejak menikah, mereka tinggal di rumah masing-masing. Setiap Jumat, Banun datang berkunjung, menjenguk cucu, secara bergiliran.
”Kalau Mak menerima pinangan Rustam, tentu julukan buruk itu tak pernah ada,” sesal Rimah suatu hari.
”Masa itu kenapa Mak mengatakan bahwa aku sudah punya calon suami, padahal belum, bukan?”
”Bukankah calon menantu Mak calon insinyur?”
”Tak usah kau ungkit-ungkit lagi cerita lama. Mungkin Rustam bukan jodohmu!” sela Banun.
”Tapi seandainya kami berjodoh, Mak tak akan dinamai Banun Kikir!”
Sesaat Banun diam. Tanya-tanya nyinyir Rimah mengingatkan ia pada Palar yang begitu bangga punya anak bertitel insinyur pertanian, yang katanya dapat melipatgandakan hasil panen dengan mengajarkan teori-teori pertanian. Tapi, bagaimana mungkin Rustam akan memberi contoh cara bertani modern, sementara sawahnya sudah ludes terjual? Kalau memang benar Palar orang tani yang sesungguhnya, ia tidak akan gampang menjual lahan sawah, meski untuk mencetak insinyur pertanian yang dibanggakannya itu. Apalah guna insinyur pertanian bila tidak mengamalkan laku orang tani? Banun menolak pinangan itu bukan karena Palar sedang terbelit hutang, tidak pula karena ia sudah jadi tuan tanah, tapi karena perangai buruk Palar yang dianggapnya sebagai penghinaan pada jalan hidup orang tani.

http://cerpenkompas.wordpress.com/2010/10/24/b-a-n-u-n/

KUNANG-KUNANG DALAM BIR

Di kafe itu, ia meneguk kenangan. Ini gelas bir ketiga, desahnya, seakan itu kenangan terakhir yang bakal direguknya. Hidup, barangkali, memang seperti segelas bir dan kenangan. Sebelum sesap buih terakhir, dan segalanya menjadi getir. Tapi, benarkah ini memang gelas terakhir, jika ia sebenarnya tahu masih bisa ada gelas keempat dan kelima. Itulah yang menggelisahkannya, karena ia tahu segalanya tak pernah lagi sama. Segalanya tak lagi sama, seperti ketika ia menciumnya pertama kali dulu.
Dulu, ketika dia masih mengenakan seragam putih abu-abu. Saat senyumnya masih seranum mangga muda. Dengan rambut tergerai hingga di atas buah dada. Saat itu ia yakin: ia tak mungkin bisa bahagia tanpa dia. ”Aku akan selalu mencintaimu, kekasihku….” Kata-kata itu kini terasa lebih sendu dari lagu yang dilantunkan penyanyi itu. I just called to say I love you….
Tapi mengapa bukan sendu lagu itu yang ia katakan dulu? Ketika segala kemungkinan masih berpintu? Mestinya saat itu ia tak membiarkan dia pergi. Tak membiarkan dia bergegas meninggalkan kafe ini dengan kejengkelan yang akhirnya tak pernah membuatnya kembali.
Waktu bisa mengubah dunia, tetapi waktu tak bisa mengubah perasaannya. Kenangannya. Itulah yang membuatnya selalu kembali ke kafe ini. Kafe yang seungguhnya telah banyak berubah. Meja dan kursinya tak lagi sama. Tetapi, segalanya masih terasa sama dalam kenangannya. Ya, selalu ke kafe ini ia kembali. Untuk gelas bir ketiga yang bisa menjadi keempat dan kelima. Seperti malam-malam kemarin, barangkali gelas bir ini pun hanya akan menjadi gelas bir yang sia-sia jika yang ditunggu tidak juga tiba.
”Besok kita ketemu, di kafe kita dulu….”
Ia tak percaya bahwa dia akhirnya meneleponnya.
”Kok diam….”
”Hmmm.”
”Bisa kita ketemu?”
”Ya.”
”Tunggu aku,” dia terdengar berharap. ”Meski aku tak yakin bisa menemuimu.”
Tiba-tiba saja ia berharap kali ini takdir sedikit berbaik hati padanya: semoga saja suaminya mendadak kena ayan atau terserang amnesia, hingga perempuan yang masih dicintainya itu tak merasa cemas menemuinya.
Menemui? Apakah arti kata ini? Yang sangat sederhana, menemui adalah berjumpa. Tapi untuk apa? Hanya untuk sebuah kenangan, atau adakah yang masih berharga dari ciuman-ciuman masa lalu itu? Masa yang harusnya mereka jangkau dulu. Dulu, ketika ia masih mengenakan seragam putih abu-abu. Saat senyumnya masih seranum mangga muda. Dengan rambut tergerai hingga di atas dada. Ketika ia yakin, ia tak mungkin bahagia tanpa dirinya.
Ah, ia jadi teringat pada percakapan-percakapan itu. Percakapan di antara ciuman-ciuman yang terasa gemetar dan malu-malu.
”Aku selalu membayangkan, bila nanti kita mati, kita akan menjelma sepasang kunang-kunang.”
Dia tersenyum, kemudian mencium pelan. ”Tapi aku tak mau mati dulu.”
”Kalau begitu, biar aku yang mati dulu. Dan aku akan menjadi kunang-kunang, yang setiap malam mendatangi kamarmu….”
”Hahaha,” dia tertawa renyah. ”Lalu apa yang akan kamu lakukan bila telah menjadi kunang-kunang?”
”Aku akan hinggap di dadamu.”
Dada yang membusung. Dada yang kini pasti makin membusung karena sudah dua anak menyusuinya. Pun dada yang masih ia rindu. Dada yang sarat kenangan. Dada yang akan terlihat mengilap ketika seekor kunang-kunang hinggap di atasnya.
”Kunang-kunang…mau ke mana? Ke tempatku, hinggap dahulu….”
Ia bersenandung sambil membuka satu per satu kancing seragam. Dia yang hanya memejam. Ia seperti melihat seekor kunang-kunang yang perlahan keluar dari kelopak matanya yang terpejam. Seperti ada kunang-kunang di keningnya. Di pipinya. Di hidungnya. Di bibirnya. Di mana-mana. Kamar penuh kunang- kunang beterbangan. Tapi tak ada satu pun kunang-kunang hinggap di dadanya pualam. Dada itu seperti menunggu kunang-kunang jantan.
Ia selalu membayangkan itu. Sampai kini pun masih terus membayangkannya. Itulah yang membuatnya masih betah menunggu meski gelas bir ketiga sudah tandas. Selalu terasa menyenangkan membayangkan dia tiba-tiba muncul di pintu kafe, membuat ia selalu betah menunggu meski penyanyi itu telah terdengar membosankan menyanyikan lagu-lagu yang ia pesan.
Ia hendak melambai pada pelayan kafe, ingin kembali memesan segelas bir, ketika dilihatnya seekor kunang-kunang terbang melayang memasuki kafe. Kemudian kunang-kunang itu beterbangan di sekitar panggung. Di sekitar kafe yang ingar bingar namun terasa murung. Murung menapak geliat lidah pada tiap jeda tubuhnya. Murung mengharap tiap geliat di liat tubuhnya mengada. Lagi. Di sini. Menjadi nanti.
Adakah kunang-kunang itu pertanda? Adakah kunang-kunang itu hanya belaka imajinasinya? Penyanyi terus menyanyi dengan suara yang bagai muncul dari kehampaan. Dan kafe yang ingar ini makin terasa murung. Tiba-tiba ia menyaksikan ribuan kunang-kunang muncul dari balik keremangan, beterbangan memenuhi panggung. Hingga panggung menjadi gemerlapan oleh pendar cahaya kunang-kunang yang berkilau kekuningan.
Gelas birnya sudah tidak berbusa. Hanya kuning yang diam. Tidak seperti kunang-kunang beterbangan gemerlapan berpendar kekuningan. Kuning di gelas birnya mati. Sementara kuning di luar birnya gemerlapan. Hidup. Ia jadi teringat pada percakapan mereka dulu. Dua hari sebelum dia memilih hidupnya sendiri. Percakapan tentang bir dan kunang-kunang.
”Aku menyukai bir, seperti aku menyukai kunang-kunang,” ia berkata, setelah ciuman yang panjang. ”Warna bir selalu mengingatkanku pada cahaya kunang-kunang. Dan kunang-kunang selalu mengingatkanku kepadamu.”
”Kenapa?”
”Karena di dalam matamu seperti hidup ribuan kuang-kunang. Aku selalu membayangkan ribuan kunang-kunang itu berhamburan keluar dari matamu setiap kau merindukanku.”
”Tapi aku tak pernah merindukanmu.” Dia tersenyum.
”Bohong….”
”Aku tak pernah membohongimu. Kamu yang selalu membohongiku.”
Ia memandang nanar. Seolah tidak yakin apa yang ia dengar salah atau benar. Bohong baginya adalah dusta yang direncanakan. Sementara apa yang ia lakukan dulu adalah pilihan. Dan pilihan hanyalah satu logika yang terpaksa harus diseragamkan. Oleh banyak orang. Olehnya….
”Tidak. Aku tidak bohong.”
”Semakin kau bilang kalau kau tidak bohong, semakin aku tahu kalau kamu berbohong.”
Ia tak menjawab. Tapi bergegas menciumnya. Rakus dan gugup. Begitulah selalu, bila ia merasa bersalah karena telah membohonginya. Seolah ciuman bisa menyembunyikan kebohongannya. Tapi ia tak bohong kalau ia bilang mencintainya. Ia hanya selalu merasa gugup setiap kali nada suaranya terdengar mulai mendesaknya. Karena ia tahu, pada akhirnya, setelah percakapan dan ciuman, dia pasti akan bertanya: ”Apakah kau akan menikahiku?”
Ia menyukai ciuman. Tapi, sungguh, ia tak pernah yakin apakah ia menyukai pernikahan. Kemudian ia berteka-teki: ”Apa persamaan bir dengan kunang-kunang?” Dia menggeleng.
Keduanya akan selalu mengingatkanku padamu. Bila kau mati dan menjelma jadi kunang-kunang, aku akan menyimpanmu dalam botol bir. Kau akan terlihat kuning kehijauan. Tapi kita tak akan pernah tahu bukan, siapa di antara kita yang akan menjadi kunang-kunang lebih dulu? Kita tak akan pernah bisa menduga takdir. Kita bisa meminta segelas bir, tetapi kita tak pernah bisa meminta takdir.
Seperti ia tak pernah meminta perpisahan yang getir.
”Aku mencintaimu, tapi rasanya aku tak mungkin bahagia bila menikah denganmu….”
Hidup pada akhirnya memang pilihan masing-masing. Kesunyian masing-masing. Sama seperti kematian. Semua akan mati karena itulah hukuman yang sejak lahir sudah manusia emban. Tapi manusia tetap bisa memilih cara untuk mati. Dengan cara wajar ataupun bunuh diri. Dengan usia atau cinta. Dengan kalah atau menang?
Pada saat ia tahu, bahwa pada akhirnya perempuan yang paling ia cintai itu benar-benar menikah—bukan dengan dirinya—pada saat itulah ia menyadari ia tak menang, dan perlahan-lahan berubah menjadi kunang-kunang. Kunang-kunang yang mengembara dari kesepian ke kesepian. Kunang-kunang yang setiap malam berkitaran di kaca jendela kamar tidurnya. Pada saat itulah ia berharap, dia tergeragap bangun, memandang ke arah jendela, dan mendapati seekor kunang-kunang yang bersikeras menerobos kaca jendela. Dia pasti tahu, betapa kunang-kunang itu ingin hinggap di dadanya. Sementara suaminya tertidur pulas di sampingnya.
”Aku memilih menikah dengannya, karena aku tahu, hidup akan menjadi lebih mudah dan gampang ketimbang aku menikah denganmu.”
Itulah yang diucapkannya dulu, di kafe ini, saat mereka terakhir bertemu.
”Jangan hubungi aku!”
Lalu dia menciumnya. Lama. Bagi ia, ciuman itu seperti harum bir yang pernah terhapus dari mulutnya.
Barangkali, segalanya akan menjadi mudah bila saat itu diakhiri dengan pertengkaran seperti kisah dalam sinetron murahan. Misal: dia menamparnya sebelum pergi. Memaki-maki, ”Kamu memang laki-laki bajingan!” Atau kata-kata sejenis yang penuh kemarahan. Bukan sebuah ciuman yang tak mungkin ia lupakan.
Dan kini, seperti malam-malam kemarin, ia ada di kafe kenangan ini. Kafe yang harum bir. Kafe yang mengantarkannya pada sebuah ciuman panjang di bibir. Kafe yang selalu membuatnya meneguk kenangan dan kunang-kunang dalam bir. Ini gelas bir ketiga, desahnya, seakan itu kenangan terakhir yang bakal direguknya. Hidup, barangkali, memang seperti segelas bir dan kenangan. Sebelum sesap buih terakhir, dan segalanya menjadi getir. Tapi benarkah ini memang gelas terakhir, jika ia sebenarnya tahu masih bisa ada gelas keempat dan kelima?
Ini gelas bir keenam!
Dan ia masih menunggu. Ia melirik ke arah penyanyi itu, yang masih saja menyanyi dengan suara sendu. Ia melihat pelayan itu sudah setengah mengantuk. Tinggal ia seorang di kafe. Barangkali, bila ia bukan pelanggan yang setiap malam berkunjung, pasti pelayan itu sudah mengusirnya dengan halus. Sudah malam, sudah tak ada lagi waktu buat meneguk kenangan.
Pada gelas kedelapan, akhirnya ia bangkit, lalu memanggil pelayan dan membayar harga delapan gelas kenangan yang sudah direguknya habis. Ya, malam pun hampir habis. Sudah tak ada waktu lagi buat kenangan. Sudah tidak ada kenangan dalam gelas bir kedelapan. Setiap kenangan, pada akhirnya punya akhir bukan? Inilah terakhir kali aku ke kafe ini, batinnya. Besok aku tak akan kembali. Kemudian ia beranjak pergi.
***
Malam makin mengendap. Tamu terakhir sudah pergi. Diam dan setengah mengantuk, para pelayan kafe membereskan kursi. Bartender merapikan gelas-gelas yang bergelantungan. Sebentar lagi penjaga malam akan menutup pintu.
Pada saat itulah, terlihat seekor kunang-kunang memasuki kafe. Kunang-kunang itu terbang melayang berputaran, sebelum akhirnya hinggap di gelas bir yang telah kosong.

http://cerpenkompas.wordpress.com/2010/10/10/kunang-kunang-dalam-bir/

TIKUS DAN MANUSIA

Entah bagaimana caranya tikus itu memasuki rumah kami tetap sebuah misteri. Tikus berpikir secara tikus dan manusia berpikir secara manusia, hanya manusia-tikus yang mampu membongkar misteri ini. Semua lubang di seluruh rumah kami tutup rapat (sepanjang yang kami temukan), namun tikus itu tetap masuk rumah. Rumah kami dikelilingi kebun kosong yang luas milik tetangga. Kami menduga tikus itu adalah tikus kebun. Tubuhnya cukup besar dan bulunya hitam legam.
Pertama kali kami menyadari kehadiran penghuni rumah yang tak diundang, dan tak kami ingini itu, ketika saya tengah menonton film-video The End of the Affair yang dibintangi Ralph Fiennes dan Julianne Moore, seorang diri, sementara istri telah mendengkur kecapaian di kamar. Waktu tiba pada adegan panas pasangan selingkuh Fiennes dan Julianne, tengah bugil di ranjang, yang membuat saya menahan napas dan pupil mata melebar, tiba-tiba kaki saya diterjang benda dingin yang meluncur ke arah televisi, dan saya lihat tikus hitam besar itu berlari kencang bersembunyi di balik rak buku. Jantung saya nyaris copot, darah naik ke kepala akibat terkejut, dan otomatis kedua kaki saya angkat ke atas.
Baru kemudian muncul kemarahan dan dendam saya. Saya mencari semacam tongkat di dapur, dan hanya saya temukan sapu ijuk. Sapu itu saya balik memegangnya dan menuju ke arah balik rak buku. Tangan saya amat kebelet memukul habis itu tikus. Namun, tak saya lihat wujud benda apa pun di sana. Mungkin begejil item telah masuk rak bagian bawah di mana terdapat lubang untuk memasukkan kabel-kabel pada televisi. Untuk memeriksanya, saya harus mematikan televisi dulu yang ternyata masih menayangkan adegan panas pasangan intelektual Inggris itu. Saya takut kalau tikus keparat itu menyerang saya tiba-tiba. Imigran gelap rumah itu saya biarkan selamat dahulu.
Saya tidak pernah menceritakan keberadaan tikus itu kepada istri saya yang pembenci tikus, sampai pada suatu hari istri saya yang justru memberitahukan kepada saya adanya tikus tersebut. Berita itu begitu pentingnya melebihi kegawatan masuknya teroris di kampung kami.
”Pak, rumah kita kemasukan tikus lagi! Besar sekali! Item!”
”Di mana mamah lihat?”
”Di dapur, lari dari rak piring menuju belakang kulkas!” Istri saya cemas luar biasa, menahan napas, sambil mengacung-acungkan pisau dapur ke arah kulkas di dapur.
”Sudah satu tahun enggak ada tikus. Rumah sudah bersih. Mengapa tikus masuk rumah kita? Tetangga jauh. Dari mana tikus itu?”
”Itu tikus kebun, Mah,” jawab saya santai sambil mengembalikan buku Nietsche ke rak buku.
”Jangan santai-santai saja Pah, cepat lihat kolong kulkas!”
Wah, situasi semakin gawat. Saya memenuhi perintah istri saya dengan menyalakan senter ke bagian kolong kulkas. Tidak ada apa pun. Tikus keparat! Ke mana dia menghilang?
Sejak itu istri saya amat ketat menjaga kebersihan. Semua piring di rak dibungkus kain, juga tempat sendok. Tudung saji diberati dengan ulekan agar tikus tidak bisa menerobos masuk untuk menggasak makanan sisa. Gelas bekas saya minum nescafe-cream malam hari harus ditutup rapat. Tempat sampah ditutupi pengki penadah sampah sambil diberati batu. Strategi kami adalah semua tempat makanan ditutup rapat-rapat sehingga tikus tak akan bisa menerobos.
Istri saya memesan dibelikan lem tikus paling andal, yakni merek Fox. Selembar kertas minyak tebal dilumuri lem tikus oleh istri saya dan di tengah-tengah lumeran lem itu ditaruh ampela ayam bagian makan malam saya. Jebakan lem tikus ditaruh di kaki kulkas. Pada malam itu, ketika istri saya tengah asyik menonton sinetron ”Cinta Kamila”, yang setiap malam setengah sembilan selalu menangis itu, istri saya tiba-tiba berteriak memanggil saya yang sedang mengulangi membaca Filsafat Nietsche di kamar kerja, bahwa si tikus terperangkap. Saya segera menutup buku dan lari ke dapur menyusul istri. Benar, seekor tikus hitam sedang meronta-ronta melepaskan diri dari kertas yang berlem itu.
”Mana pukul besi?!” saya panik mencari pukul besi yang entah disimpan di mana di dapur itu.
”Jangan dipukul Pah!”
”Lalu bagaimana?” Saya menjawab mendongkol.
”Selimuti dengan kertas koran. Bungkus rapat-rapat. Digulung supaya seluruh lem lengket ke badannya.”
”Lalu diapakan?” Saya semakin dongkol.
”Buang di tempat sampah!”
”Aah, mana pukul besi?” Kedongkolan memuncak.
”Nanti darahnya ke mana-mana! Bungkus saja rapat-rapat!”
Saya mengalah. Ketika tikus itu akan saya tutupi kertas koran, matanya kuyu penuh ketakutan memandang saya. Ah persetan! Saya menekan rasa belas kasihan saya. Tikus saya bungkus rapat-rapat, lalu saya buang di tong sampah di depan rumah, sambil tak lupa memenuhi perintah istri saya agar penutupnya diberati batu.
Siang harinya sepulang dari mengajar, istri saya terbata-bata memberi tahu saya bahwa tikus itu lepas ketika Mang Maman tukang sampah mau menuangkan sampah ke gerobaknya. Cerita Mang Maman, ada tikus meloncat dari gerobak sampahnya dan lari ke kebun sebelah dengan terbungkus kertas coklat. Cerita lepasnya tikus ini beberapa hari kemudian diperkuat oleh Bi Nyai, pembantu kami, bahwa dia melihat tikus hitam yang belang-belang kulitnya.
Geram juga saya, dan diam-diam saya membeli dua jebakan tikus. Ketika mau saya pasang malam harinya, istri saya keberatan.
”Darahnya ke mana-mana,” katanya.
”Ah, gampang, urusan saya. Kalau kena lantai, saya akan pel pakai karbol,” jawabku.
Istri saya mengalah, dan rupanya merasa punya andil bersalah juga. Coba kalau tikus itu dulu kupukul kepalanya, tentu beres.
Pada waktu subuh istri membangunkan saya.
”Tikusnya kena Pah!”
Memang benar, seekor tikus hitam terjepit jebakan persis pada lehernya. Darah tak banyak keluar. Ketika saya amati dari dekat, ternyata bukan tikus yang kulitnya sudah belang-gundul.
”Ini bukan tikus yang lepas itu Mah!”
”Masa?” Ia mendekat mengamati.
”Kalau begitu ada tikus lain.”
”Mungkin ini istrinya,” celetekku.
Ketika mau saya lepas dari jebakan, istri saya melarangnya.
”Buang saja ke tempat sampah dengan jebakannya.”
Rasa tidak aman masih menggantung di rumah kami. Tikus belang itu masih hidup. Dendam kami belum terbalas. Berhari-hari kemudian kami memasang lagi lem tikus dengan berganti-ganti umpan, seperti sate ayam, sate kambing, ikan jambal kegemaran saya, sosis, namun tak pernah berhasil menangkap si belang. Bibi mengusulkan agar dikasih umpan ayam bakar. Saya membeli sepotong ayam bakar di restoran padang yang paling ramai dikunjungi orang. Sepotong kecil paha ayan itu dipasang istri saya di tengah lumeran lem Fox, sisanya saya pakai lauk makan malam.
Gagasan Bi Nyai ternyata ampuh. Seekor tikus menggeliat-geliat melepaskan diri dari karton tebal yang dilumuri lem. Tikus itu benar-benar musuh istri saya, di beberapa bagian badannya sudah tidak berbulu. Kasihan juga melihat sorot matanya yang memelas seolah minta ampun.
”Mah, cepat ambil pukul besinya.”
Istri saya mengambil pukul besi di dapur dan diberikan kepada saya. Ketika mau saya hantam kepalanya, istri saya melarang sambil berteriak.
”Tunggu dulu! Pukul besinya dibungkus koran dulu. Kepala tikus juga dibungkus koran. Darahnya bisa enggak ke mana-mana!”
Begitu jengkelnya saya kepada istri yang tidak pernah belajar bahwa tikus yang meronta-ronta itu bisa lepas lagi.
”Cepat sana cari koran!” bentakku jengkel.
”Kenapa sih marah-marah saja?” sahut istri saya dongkol juga. Saya diam saja, tetapi cukup tegang mengawasi tikus yang meronta-ronta semakin hebat itu. Kalau dulu berpengalaman lepas, tentu dia bisa lepas juga sekarang.
Akhirnya tikus hitam itu saya hantam tiga kali pada kepalanya. Bangkainya dibuang bibi di tempat sampah.
Beberapa hari setelah itu istri saya mulai kendur ketegangannya. Kalau saya lupa menutup kopi nescafe, biasanya dia marah-marah kalau bekas kopi susu itu dijilati tikus, tetapi sekarang tidak mendengar lagi sewotnya. Begitulah kedamaian rumah kami mulai nampak, sampai pada suatu pagi istri saya mendengar sayup-sayup cicit-cicit bayi tikus! Inilah gejala perang baratayuda akan dimulai lagi di rumah kami.
”Harus kita temukan sarangnya! Bayi-bayi tikus itu kelaparan ditinggal kedua orangtuanya. Kalau mati bagaimana? Kalau mereka hidup, rumah kita menjadi rumah tikus!” kata istri.
Lalu kami melakukan pencarian besar-besaran. Bagian-bagian tersembunyi di rumah kami obrak-abrik, namun bayi-bayi tikus tidak ketemu. Bayi-bayi itu juga tidak kedengaran tangisnya lagi. ”Mungkin ada di para-para. Tapi bagaimana naiknya?” kata saya.
”Nunggu Mang Maman kalau ambil sampah siang,” kata istri.
Ketika Mang Maman mau mengambil sampah di depan rumah, bibi minta kepadanya untuk naik ke para-para mencari bayi-bayi tikus.
”Di sebelah mana Bu?” tanya Mang Maman.
”Tadi hanya terdengar di dapur saja. Mungkin di atas dapur ini atau dekat-dekat sekitar situ,” sahut istri saya.
Sekitar setengah jam kemudian Mang Mamang berteriak dari para-para bahwa bayi-bayi tikus itu ditemukan. Mang Maman membawa bayi-bayi itu di kedua genggaman tangannya sambil menuruni tangga.
”Ini Bu ada lima. Satu bayi telah mati, yang lain sudah lemas. Lihat, napas mereka sudah tersengal-sengal.”
Istri saya bergidik menyaksikan bayi-bayi tikus merah itu.
”Bunuh dan buang ke tempat sampah Mang” kata istri saya.
”Ah, jangan Bu, mau saya bawa pulang.”
”Mau memelihara tikus?” tanya istri saya heran.
”Ah ya tidak Bu. Bayi-bayi tikus ini dapat dijadikan obat kuat,” jawab Mang Maman sambil meringis.
”Obat kuat? Bagaimana memakannya?”
”Ya ditelan begitu saja. Bisa juga dicelupkan ke kecap lebih dulu.”
Setelah memberi upah sepuluh ribu rupiah, istri saya masih terbengong-bengong menyaksikan Mang Maman memasukkan keempat bayi tikus itu ke kedua kantong celananya, sedangkan yang seekor dijinjing dengan jari dan dilemparkan ke gerobak sampahnya.
Tikus-tikus tak terpisahkan dari hidup manusia. Tikus selalu mengikuti manusia dan memakan makanan manusia juga. Meskipun bagi sementara orang, terutama perempuan, tikus-tikus amat menjijikkan, mereka sulit dimusnahkan. Perang melawan tikus ini tidak akan pernah berakhir.
Saya masih menunggu, pada suatu hari istri saya akan terdengar teriakannya lagi oleh penampakan tikus-tikus yang baru.

http://cerpenkompas.wordpress.com/2010/11/28/tikus-dan-manusia/