Jumat, 17 Desember 2010

PIANO

Dulu, rumah bercat hijau itu kami tinggali berempat. Aku, nenek, kakek, dan ibu. Kalau kau tanya di mana ayahku? Aku tak punya jawaban. Nenek pun tidak. Hanya ibu yang tahu persis siapa ayah kandungku. Dan aku pun tidak pernah berhasrat menanyakan perihal ayah kepadanya.
Sejak aku lahir, kakeklah figur ayah bagiku. Meski beliau yang tua dan rapuh lebih banyak tergolek di balai-balai daripada membawaku pergi ke taman bermain. Sesekali, beliau duduk di kursi goyang, sambil menyipitkan kedua matanya, berusaha memperhatikanku yang sedang disuapi oleh nenek. Penglihatan kakek memang terganggu. Tak lama sejak didiagnosa dokter menderita diabetes, beliau menderita glaukoma. Malam-malam, jika sedang kambuh, kakek akan terus mengerang dan mengeluhkan matanya yang sakit. Selang beberapa menit kemudian, beliau akan muntah-muntah dan tergolek lemah di balai-balai yang telah dilapisi matras.
Ketika nada erangan kakek mulai meninggi, aku hafal betul, nenek pasti akan memanggil dan memintaku untuk mengambilkan botol obat tetes mata bertuliskan Eserine di lemari tengah. Seusai menyelesaikan tugas kecil itu, aku kembali bergelung di ranjang. Dari balik korden kamar yang usang, aku selalu terharu memandangi nenek yang setia merawat kakek hingga fajar menjelang kemudian.
***
Ibuku, kau tahu? Dia sangat cantik. Suaranya merdu. Rambutnya yang sepunggung, hitam legam bak bulu gagak. Setiap wanita pasti akan iri saat memandang wajahnya yang jelita. Setiap lelaki pasti akan jatuh cinta melihat lekuk tubuhnya yang molek. Namun, menurut pendapatku, ia tak lebih dari seorang wanita tolol. Kecantikan dan suaranya yang mendayu, hanya bisa mengantarkannya menjadi biduanita kelas teri. Bersama grup musik keliling, ia menyanyi dari desa ke desa. Kata nenek, ketika masih belia, banyak pemuda bersahaja datang melamarnya. Namun, ia justru jatuh cinta pada seorang lelaki tak beridentitas. Percintaan ibu dengan lelaki itu pun membuahkanku. Tanpa nama ayah di surat kelahiran, aku pun menghirup udara dunia yang tak seramah rahim ibu.
Ketika aku berumur empat tahun, reputasi ibu sebagai biduan naik daun. Ia tak lagi menyanyi di panggung keliling, melainkan menjadi penyanyi tetap di sebuah bar di Yogyakarta. Awalnya, ibu pulang seminggu sekali, dengan membawa banyak hadiah untukku. Lama-lama ibu pulang sebulan sekali, lalu tiga bulan sekali, dan akhirnya aku tak lagi bisa menghitung berapa lama ibu pergi.
“Aku tidak mau boneka lagi! Aku mau ibu di sini!” aku ingat, usiaku lima tahun saat aku menangis menjerit-jerit, menyaksikan ibu beranjak pergi dari pintu rumah untuk kesekian kali.
“Ibu pergi agar kau bisa sekolah saat kau besar nanti,” bujuknya lembut.
“Aku tidak mau sekolah. Aku hanya mau ibu!” teriakanku makin melengking.
***
“Mbak, belok ke kanan atau ke kiri?” suara sopir taksi membuyarkan lamunanku.
“Ke kiri, Pak! Nanti di sebelah kiri, ada gapura warna hitam, masuk kira-kira dua ratus meter,” jawabku dengan suara berat.
Taksi yang kutumpangi dari Bandara Adisutjipto, Yogyakarta, semakin mendekati rumah nenek yang terlihat mulai lapuk dan mengelupas catnya di mana-mana. Rumah itu kini hanya dihuni oleh nenek seorang. Kakekku sudah meninggal jauh sebelum aku meninggalkan rumah. Beberapa bulan kemudian, ibuku pun meninggal. Saat itu, aku baru menginjak usia dua belas. Sanak saudara berdatangan untuk berbela sungkawa. Termasuk adik nenek yang menikah dengan seorang prajurit Belanda dan tinggal di Groningen, Belanda. Tepat tujuh hari setelah ibu meninggal, aku ikut adik nenek untuk bersekolah dan tinggal di negeri kincir angin itu.
***
Ketika taksi berhenti di depan rumah, nenek sedang sibuk dengan rajutan dan setumpuk benang wol di pangkuannya. Wanita tua itu terkesiap melihatku turun dari taksi. Sontak, ia bangkit dari kursi goyangnya, dan berlari kecil menghampiriku. Ada segunung kerinduan yang terpancar dari kedua bola matanya yang terbingkai kacamata presbiopi.
“Mala! Oh….Mala cucuku!” serunya berbaur dengan suara tangis mengharu biru. “Rasanya lama sekali nenek menunggumu pulang, Mala. Kau sekarang betul-betul sudah dewasa,” lanjut nenek sambil menyeka air matanya.
“Aku merindukan nenek,” balasku sambil memeluk tubuh rentanya.
“Syukurlah, kini kau sudah pulang,” ujarnya sambil mengelus rambutku. Kerinduan kami selama sepuluh tahun pun melebur ke dalam sebuah pelukan hangat tiada tara.
Malam harinya, aku tiduran di pangkuan nenek. Nyaman rasanya. Kuhirup dalam-dalam aroma khas kain jarit yang dipakai oleh nenek. Masih sama seperti dulu.
“Kau tak ingin menjenguk Kus?” pertanyaan nenek membuatku tersentak.
“Om Kus?” tanyaku datar.
“Semestinya kau menjenguknya, Mala. Dulu kau sangat sayang padanya bukan? Datanglah ke pondoknya esok pagi, sebelum ia berobat,”
“Berobat?”
***
Keesokan paginya, aku mengunjungi lelaki yang nenek sebut dengan nama Kus. Sewaktu kecil dulu, aku lebih suka memanggilnya dengan sebutan Om Koko. Jika kebetulan ia menjadi wali yang mengambil raporku di sekolah, dengan bangga aku akan memperkenalkannya kepada teman-temanku sambil menyebutkan nama lengkapnya, yang hanya terdiri dari satu suku kata. Kuswidiatmoko.
Kata para tetangga, Om Koko adalah kekasih ibu. Mereka saling jatuh cinta karena Om Koko selalu mengiringi ibu menyanyi di panggung dengan piano klasiknya. Meski aku menyayangi lelaki bertubuh atletis itu, tapi aku sama sekali tidak berharap kelak ia menjadi ayah tiriku.
Pondok Om Koko sangat teduh. Dikelilingi oleh pagar kayu yang dililit oleh bunga Alamanda. Sayup-sayup kudengar suara tuts piano beradu dengan pedal. Permainan itu amat akrab di telingaku. Meski terlambat mendengarkan untaian nada-nada itu, tetapi aku hafal judulnya di luar kepala. Tristesse, gubahan Frederic Chopin, komposer favorit Om Koko.
***
“Om, bisakah suatu saat nanti aku bermain piano seperti Om?” tanyaku padanya ketika usiaku masih sepuluh tahun. Tubuhku yang mungil tampak tenggelam saat berdiri di samping grand piano akustik berwarna hitam mengkilat milik Om Koko.
“Tentu saja kamu bisa,” jawabnya meyakinkan.
“Mainkan satu lagu untukku, Om! Aku juga ingin memainkannya dalam mimpiku nanti,” ujarku sembari melemparkan novel berjudul ’Buku Catatan Josephine’ yang belum selesai kubaca ke sofa.
“Mmmm…baiklah. Om mainkan sebuah lagu pengantar tidur untukmu,” bisiknya penuh sayang. Aku menyandarkan tubuhku di sofa, bersiap mendengarkan dia memainkan jemarinya di atas tuts gradded hammer yang tebal dan kokoh.
“Apa judulnya?”
“Tristesse,” jawabnya lembut.
“Tristesse?” tanyaku sambil berusaha mengeja.
“Ya, Tristesse. Kata itu berasal dari bahasa Perancis, yang artinya kesedihan. Komposisi ini juga dikenal dengan sebutan Etude Op. 10 No 3,” tutur Om Koko sambil tersenyum. Kedua lesung pipinya terlihat semakin cekung, menghiasi wajah tampannya yang terbungkus oleh jambang samar.
Perlahan, alunan Tristesse mengantarkanku ke dunia bawah sadar. Anehnya, ketika aku terlelap sembari mendengarkan melodi itu dengan cermat, aku memimpikan diriku sendiri memainkannya. Jemari tanganku yang lentik dan lincah menari-nari di atas tuts piano. Sejenak, aku pun melupakan Eserine, nama obat tetes mata kakek yang baru saja kutemukan di novel yang beberapa menit lalu menyita perhatianku.
***
Aku terhenyak. Peristiwa bertahun silam itu melesat cepat menembus memoriku. Kuayunkan satu langkah kaki mendekati pintu bercat cokelat di hadapanku. Aku mengintip dari jendela. Mataku terpaku pada sosok lelaki dengan helai-helai rambut berwarna kelabu.
“Permisi!” seruanku ternyata tak membuat lelaki itu berhenti memainkan Tristesse. Agaknya, ia terlampau menikmati setiap gerakan jarinya yang menekan tuts-tuts berat piano Steinway di hadapannya.
“Permisi!” seruku sekali lagi dengan nada sedikit kutinggikan.
Tampak seorang wanita paruh baya menghampiri pintu sambil mengelap tangannya dengan celemek yang melilit perutnya. Wanita itu membukakan pintu untukku. Sesaat, ia terdiam sambil berusaha mencermati wajahku.
“Kumala…kaukah itu?” seru si wanita seolah tak percaya.
“Iya, ini aku, Mak!” balasku bersemangat.
“Mala, Emak sangat merindukanmu,” ujar wanita bertubuh kurus itu sambil mendekapku erat. “Kau betul-betul sudah dewasa Mala. Dan kau amat mirip dengan Maya, ibumu,” lanjutnya. Aku pun hanya tersenyum tipis mendengar kalimat yang terlontar dari bibirnya.
Dulu, Mak Min atau yang kerap kupanggil Emak itu sering datang untuk mengasuhku, jika kebetulan nenek sedang repot mengurus kakek yang sakit-sakitan.
“Sejak kapan Mak Min bekerja di pondok ini?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.
“Sejak ibumu meninggal dan kamu pergi ke negara kompeni, Emak ikut Den Kus. Apalagi sejak kehilangan Maya, ibumu, pikiran Den Kus jadi agak terganggu. Tubuhnya juga jadi sakit-sakitan. Keluarga Den Kus lalu mengupah Emak untuk mengurusnya karena tak sanggup merawatnya sendiri.”
“Jadi, karena itu Om Koko harus berobat?”
“Iya, setiap sebulan sekali Den Kus menjalani terapi kejiwaan. Selain itu juga harus bolak-balik rumah sakit untuk berobat lambungnya yang terkena infeksi.”
“Infeksi?”
“Kata dokter, lambung Den Kus mengalami infeksi kronis. Kalau penyakit pikirannya sedang kambuh, ia bisa tak makan selama berhari-hari. Jadi lambungnya pun ikut-ikutan rusak,” ujar Mak Min prihatin.
Ketika aku dan Mak Min sedang serius berbincang, tiba-tiba dari balik untaian korden manik-manik muncul seorang lelaki paruh baya berwajah kuyu.
“Mak, siapa yang datang?” seru lelaki itu dengan suara parau.
“Eh, ini Den! Ada tamu ingin menjenguk Aden,” jawab Emak dengan nada serba salah. Mungkin Emak takut membangkitkan kenangan pahit Om Koko akan masa lalunya bersama wanita yang ia cintai, yang tak lain adalah ibuku sendiri.
“Maya?” seru Om Koko ketika melihat bayangan tubuhku mendekatinya.
“Bukan, Om aku Kumala bukan Maya. Om sudah lupa padaku?”
“Maya! Maya, aku sangat merindukanmu,” jawab Om Koko sambil berusaha memeluk tubuhku.
Mendadak aku tak mampu membendung air mata yang terus saja menganaksungai di kedua pipiku. Aku sadar, aku menangis bukan karena sedih mengenang ibuku, melainkan kecewa karena Om Koko terus saja menganggapku sebagai dirinya.
***
Sepuluh tahun yang lalu. Suatu hari, dari balik jendela pondok Om Koko, kulihat ibuku yang cantik jelita duduk di sampingnya menghadap piano. Ibu dengan sepasang tangannya yang berkulit kuning langsat, lengkap dengan sepuluh jemari lentiknya, memainkan tuts-tuts piano. Di banding seminggu sebelumnya, permainan piano ibu kali itu sudah lebih baik. Om Koko bersorak girang sambil mencium kening ibu, ketika ibu berhasil memainkan sebuah lagu dengan kunci accord sederhana.
Aku tidak menyukai pemandangan mesra itu!
Aku benci karena ibu bisa belajar bermain piano bersama Om Koko, sedangkan aku tidak. Kebencian itu semakin tak terkendali tatkala kupandangi kedua lenganku yang hanya sebatas siku orang normal, dengan dua tonjolan daging yang lebih mirip kue kaastengels dibanding ibu jari dan kelingking.
Aku tidak bisa belajar bermain piano, itu salah ibu! Aku bisa berkata begitu karena aku kerap mendengar para tetangga bergunjing. Kata mereka, aku cacat akibat ibu yang pernah berusaha keras menggugurkanku ketika masih dalam kandungan. Tapi, kini aku cukup puas karena takdir berkata lain. Aku tidak mati di tangan ibu, melainkan sebaliknya.
Mungkin hanya nenek satu-satunya yang menyadari, kalau ibu meninggal setelah meminum sirup lemon yang kubawakan untuknya. Sirup lemon yang sudah kucampur dengan banyak-banyak Eserine, sisa obat glaukoma kakek yang tertinggal di lemari. Untuk itulah, nenek mengirimku jauh ke Belanda, agar tak ada yang bisa menyalahkanku atas kematian ibu.
Mungkin aku harus berterima kasih pada Josephine, tokoh gadis berusia dua belas tahun yang ada di novel yang kubaca itu. Atau sebetulnya, ibulah yang menyebabkan kematiannya sendiri, karena dialah yang menghadiahiku novel itu. Jadi, bukan salahku kalau aku meniru cara Josephine yang meracuni kakeknya, Aristide Leonides, dengan obat tetes mata yang namanya sama dengan obat kakek.
Sayang sekali, ibu memang tak pernah menyadari telah melahirkan anak cacat yang kelewat cerdas, sehingga aku pun berhasil meracuninya dengan obat tetes mata itu. Dan dengan begitu, aku bisa memiliki Om Koko untuk selamanya, tanpa ada ibu sebagai pengganggu.

http://cerpenkompas.wordpress.com/2010/12/05/piano/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar